Fafavoice, catatan Fafa

Resiko Kuliah di Luar Negeri #2 Seri Culture Shock

resiko kuliah di luar negeri

Lanjut masih dengan tema resiko kuliah di luar negeri seri 2. Jika seri 1 kemaren fafavoice.com membahas resiko kuliah di luar negeri versi akademik. Selanjutnya fafa akan membahas resiko kuliah di luar negeri seri serba serbi culture shock. Dengan memahami resiko kuliah di Luar Negeri vois akan tersadar bahwa kuliah di luar negeri tidak semuanya menyenangkan, indah dan berbunga-bunga, banyak sisi gelap dan fase-fase depresinya. Jika vois sudah memahami resikonya, jadi bisa take measurement, sedia payung sebelum hujan.

Resiko Kuliah di Luar Negeri 

Seri dua resiko kuliah di Luar Negeri akan membahas culture shock, dimana seseorang mengalami rasa kaget atau terkejut dengan perbedaan budaya baru yang sedang dialami dengan budaya di negara asal. Culture shock ini bentuknya bermacam-macam, bisa berupa perbedaan cuaca yang ekstrim, perbedaan budaya, kebiasaan masyarakat atau apapun itu yang membuat vois terheran-heran dengan budaya yang baru.

Culture Shock

Budaya yang sangat berbeda antara Indonesia dan negara tempat vois belajar mungkin sedikit banyak akan mempengaruhi mood dan perasaan hati ketika belajar di sana. Tentu setiap negara memiliki budaya, kondisi cuaca dan kebiasaan yang berbeda. Kaget ketika pertama kali menginjakan kaki di negara lain, membanding bandingkan dengan Indonesia adalah suatu hal yang wajar, namun jangan berlebihan.

 Memahami perbedaan budaya terlebih dahulu sebelum berangkat akan membantu vois lebih betah dan bersiap menerima perbedaan yang ada.

Cuaca Esktrim

Suhu dingin yang menusuk tulang, tangan kaku, keram kedinginan, harus memakai baju berlapis-lapis hanya untuk pergi ke luar. Belum lagi angin khas Scotland yang kencang seperti simulasi bencana angin puting beliung hahaha. 

Cuaca di Edinburgh sangat sulit diprediksi. Setiap hari kita seolah memiliki empat cuaca sekaligus, panas, hujan gerimis, hujan deras dan berangin. Matahari bersinar terang, namun cuaca masih begitu dingin, dingin sekali. Suhu rata-rata musim gugur antara 9-6°C, sedangkan suhu musim dingin berkisar 3-0°C. Berbeda dengan temanku yang kuliah di California, suhu di siang hari bisa mencapai 43°C dan ketika malam hari, suhu pun turun drastis.

Aku jadi selalu mengingat nasehat Pak Desra, “Jangan pernah menyalahkan cuaca, kitanya saja yang kurang persiapan.” Awalnya sulit rasanya menerima nasehat ini, sebagai rakyat Indonesia yang setiap hari ditempa terik matahari, terpanggang jalanan Surabaya dan jarang bersentuhan dengan AC kecuali pas mampir alfamart atau indomart. 

Tiga bulan pertama merupakan proses adaptasi yang tidak mudah. Sakit, masuk angin, tidak betah dan ogah berangkat ke kelas (karena harus pergi ke luar dan menghadapi cuaca dingin). Meskipun sudah memakai baju yang tebal, thermal, heattech, atau apapun yang serba hangat, tetap terasa dingin. Namun setelah tiga bulan, akhirnya fafa bisa berdamai dengan suhu dingin Edinburgh. Kini setiap keluar dari kamar fafa bisa merasakan angin sejuk Edinburgh.

Kembali lagi, setiap orang memiliki tingkat ketahanan dingin yang berbeda, bisa aja vois langsung betah sejak pertama kali menginjakkan kaki di Edinburgh. Bahkan mungkin vois bisa seperti native scottish yang joging dengan celana pendek di pagi hari saat suhu -1°C, mindblowing sekale yaa hahaha.

resiko kuliah di luar negeri

Biaya Hidup serba Mahal

Sebenarnya jika tidak membandingkan dengan harga di Indonesia, harga di UK ini cenderung normal jika menggunakan standar British/Scottish. Namun karena perbedaan Kurs yang terlampau besar membuat segala suatu terkesan sangat mahal. Harga baju, makanan, transport memang di atas rata2 harga Indonesia, WOW sekali jika dirupiahkan. 

Maka saran saya, jangan dirupiahkan, tapi entah kenapa aku selalu otomatis merupiahkan segalanya. Bayangkan, kurs setiap 1 Poundsterling(GBP) kurang lebih setara dengan 19,600 Rupiah (IDR). Kurs memang sering berubah, perubahannya tidak terlampau jauh. Edinburgh, wilayah tempat tinggalku sebenarnya jauh lebih murah dari pada di London. London itu seperti Jakarta, segalanya serba mahal di sana. Sedangkan Edinburgh termasuk bagian dari Scotland. 

Gambaran harga kebutuhan hidup di Scotland (Rata-rata/pada umumnya)
  • Biaya transportasi sekali naik bis 2£ (40k)
  • Biaya tempat tinggal selama sebulan 400 - 700£ (8jt-14jt )
  • Biaya belanja groceries per bulan 100-150£  (2jt-3jt)
  • Biaya wisata Edinburgh 0-25£ (0-500k)
Biayan makan/baju
  • 1x makan di restaurant menengah 6£ - 8£ (120k - 160k)
  • 1x makan di restauran ke atas 15£ - 25£ (300k - 500k)
  • 1x harga baju menengah 18£ - 25£ (360K – 500k)
  • 1x harga baju ke atas 30 - 90£ (600k – 1.800k)

Biaya terbesar adalah biaya tempat tinggal yang bisa mencapai belasan juta, sedangkan biaya konsumsi, jalan-jalan, dan transportasi jauh lebih terjangkau. Apakah biaya hidup di Edinburgh itu mahal? Semua itu relative, seberapa selektif gaya hidup vois. Jika vois loss dol rem blong, sering makan di restauran, memilih akomodasi yang mahal, dan suka jalan-jalan ke luar kota. Pasti pengeluaran akan sangat besar. 

Namun jika vois lebih sering masak sendiri dan cukup jalan-jalan gratis di sekitaran Edinburgh tentu pengeluaran akan terpaut lebih murah mungkin sekitar 900£ per bulan. Banyak wisata gratis di Edinburgh seperti National Museum of Scotland, Museum Galery, Holyrood Park, Arthur Seat, Royal botanical garden etc. Intinya perbedaan gaya hidup akan sangat mempengaruhi jumlah pengeluaran bulanan. Be wise with your financial.

resiko kuliah di luar negeri


Karakter Warga Lokal

Ya warga Indonesia memang terkenal ramah, murah senyum, suka untuk diajak ngobrol ringan dimanapun, meski sama-sama tidak mengenal satu sama lain. Orang Indonesia rata-rata akan menjawab pertanyaan vois dengan baik ketika bertanya tentang arah jalan atau meminta bantuan. Warga Indonesia tidak segan untuk membantu dan mengingatkan jika memang dirasa perlu. Well, meskipun semua tergantung dari karakter setiap daerah, tapi mostly masyarakat Indonesia itu baik. 

Beruntunglah fafa, karena warga asli Scotland itu sama baiknya, murah senyum and real gentlemen banget. Jadi tidak terlalu merasakan culture shock. Sebagai pelajar berhijab, awalnya fafa takut didiskriminasi sebagai minoritas, namun faktanya warga lokal tidak mempermasalahkan itu sama sekali. Fafa pun bisa bernafas lega. Senang rasanya diterima warga lokal.
 
Berbeda dengan temanku yang lanjut study di Jerman, dia merasakan culture shock luar biasa, karena karakter warga lokal yang dingin, ambisius dan tentu tidak ramah. Membutuhkan waktu yang cukup lama bagi temanku untuk bisa beradaptasi dengan karakter warga lokal. 

Mungkin banyak culture shock lainnya yang tidak terduga di negara tujuan vois nantinya. So alangkah baiknya vois selalu research, mencari data negara yang dituju untuk menghindari resiko kuliah di luar negeri.  

2 comments

Terima kasih sudah membaca ^^
  1. California negara bagian Amerika kan? Setauku di sana emng cuacanya panas. Jarang bersalju atau bahkan gak ada musim dingin. 🙂 CMIIW.

    ReplyDelete
  2. iyaa temen PBku ada yang kuliah di sana UC Davis

    ReplyDelete